Setiap orang punya cara sendiri untuk sembuh. Ada yang menulis. Ada yang memeluk teman. Ada juga yang diam-diam kabur ke gunung, membawa ransel kecil dan hati yang ingin istirahat.
Aku termasuk yang terakhir.
Dan perjalanan ke Gunung Rinjani bersama paket Lombok 3 hari 2 malam adalah keputusan yang ternyata jauh lebih bermakna dari sekadar “liburan singkat.”
Menyusuri Sembalun yang Dingin Tapi Ramah
Perjalanan dimulai dari Desa Sembalun, sebuah tempat di kaki Rinjani yang seperti dunia tersendiri. Udaranya dingin tapi tidak menggigit. Pagi-pagi, kabut masih menggantung di atas ladang, dan suara ayam kampung jadi latar alami yang bikin hati adem.
Aku datang dengan ekspektasi sederhana: jalan-jalan, foto-foto, tidur nyenyak. Tapi begitu menginjakkan kaki di jalur trekking ringan yang kami lewati, rasanya beda.
Langkah kaki makin pelan, tapi pikiran justru terasa makin tenang.
Diam di Hadapan Gunung
Ada momen di mana kami berhenti di sebuah titik pandang, membelakangi ladang dan menghadap langsung ke arah puncak Rinjani yang jauh di sana. Aku duduk di atas batu, memandangi puncak yang sebagian tertutup awan.
Waktu itu, tidak ada suara dari rombongan. Semua larut dalam diam. Masing-masing seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara tipis, tapi rasanya menyembuhkan. Entah kenapa, beban yang sebelumnya rasanya berat banget, tiba-tiba jadi lebih ringan. Mungkin karena aku merasa diterima, oleh gunung, oleh alam, dan oleh diriku sendiri.
Makan Siang yang Biasa Tapi Berarti
Kami sempat duduk piknik di tengah padang rumput kecil. Menunya sederhana: nasi, telur, tempe goreng, dan sambal. Tapi waktu dimakan sambil memandangi Rinjani dan ditemani angin gunung yang sejuk, rasanya luar biasa.
Aku ingat salah satu peserta trip bilang pelan, “Ini sih bukan cuma makan, tapi semacam charging batin.” Aku hanya tertawa kecil, tapi diam-diam setuju banget.
Gunung yang Tidak Menghakimi
Rinjani tidak bertanya apa yang kamu bawa dalam pikiranmu. Dia tidak peduli kamu datang karena galau, karena burnout, atau cuma ingin coba hal baru. Dia hanya ada di sana—menyambut siapa pun yang datang dengan niat baik.
Dan itu yang bikin healing di sini terasa dalam.
Tanpa banyak kata. Tanpa ritual ribet. Hanya berjalan, diam, dan mendengarkan angin.
Ketemu Banyak “Aku” Versi Lain
Yang menarik, saat ikut trip seperti ini, kamu akan ketemu orang-orang dengan cerita berbeda. Ada yang patah hati, ada yang baru resign, ada yang sekadar ingin sunyi. Tapi semua sama-sama mencari “napas baru.”
Kami ngobrol ringan di sela perjalanan, tapi justru dari sana terasa bahwa banyak orang sedang dalam fase ingin “menata ulang.” Dan suasana Rinjani mendukung itu semua—tenang, jujur, tidak dibuat-buat.
Waktu sore datang, kami mulai turun. Jalur yang tadinya menanjak sekarang menurun pelan-pelan. Langkah kami tidak terburu-buru. Seolah tidak ingin cepat pulang.
Aku menengok ke belakang, sekali lagi menatap Gunung Rinjani yang berdiri diam. Dalam hati aku bilang, “Terima kasih ya, udah jadi tempatku istirahat.”
Dan sejak saat itu, aku tahu: healing terbaik tidak harus mahal, tidak harus jauh. Kadang cukup alam, keheningan, dan waktu untuk memeluk diri sendiri.